Bahan Tambahan Makanan (BTM) atau food
additives adalah senyawa (atau campuran berbagai senyawa) yang sengaja
ditambahkan ke dalam makanan danterlibat dalam proses pengolahan, pengemasan
dan/atau penyimpanan, dan bukanmerupakan bahan (ingredient) utama. Sementara
itu pada Undang-undang RI No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan khususnya pada Bab II
(Kemanan Pangan) Bagian Kedua disebutkan banwa yang dimaksud dengan bahan
tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk
mempengaruhi sifat atau bentuk pangan. Penggunaan bahan tambahan pangan dalam
produk pangan yang tidak mempunyai resiko kesehatan dapat dibenarkan, karena
hal tersebut lazim digunakan.
Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
235/MENKES/PER/VI/1979 tanggal 19 Juni 1979 mengelompokkan BTM berdasarkan
fungsinya, yaitu: (1) antioksidan dan antioksidan sinergis, (2) anti kempal,
(3) pengasam, penetral dan pendapar, (4) enzim, (5) pemanis buatan, (6) pemutih
dan pematang, (7) penambah gizi, (8) pengawet, (9) pengemulsi, pemantap dan
pengental, (10) pengeras, (11) pewarna alami dan sintetik, (12) penyedap rasa
dan aroma, (13) sekuestran, dan (14) bahan tambahan lain.
Pewarna makanan merupakan bahan tambahan
pangan yang dapat memperbaiki penampakan makanan. Penambahan bahan pewarna
makanan mempunyai beberapa tujuan, di antaranya adalah memberi kesan menarik
bagi konsumen, menyeragamkan dan menstabilkan warna, serta menutupi perubahan
warna akibat proses pengolahan dan penyimpanan.
Secara garis besar pewarna dibedakan
menjadi dua, yaitu pewarna alami dan sintetik. Pewarna alami yang dikenal di
antaranya adalah daun suji (warna hijau), daun jambu/daun jati (warna merah),
dan kunyit untuk pewarna kuning. Sedangkan menurut GG Birch (1976), zat pewarna
makanan terbagi dalam dua kelompok, yaitu centrified colour dan uncentrified
colour. Uncentrified colour merupakan zat pewarna alami berupa ekstrak pigmen
dari tumbuh-tumbuhan atau hewan dan zat pewarna mineral.
Kromatografi
secara luas digunakan untuk pemisahan pewarna makanan sintetik. Kromatografi
kertas telah digunakan pada tahun 1950. Pada tahun 1970an, penggunaan KLT lebih
disukai oleh banyak laboratorium. Teknik ini masih digunakan oleh banyak
laboratorium karena peralatan yang digunakan sederhana. Namun telah
dikembangkan metode baru yang memberikan keuntungan yang lebih besar, seperti HPLC
dan elektroforesis kapiler.
1. 1.
Kromatografi kertas
Untuk
mengetahui jenis zat pewarna umumnya digunakan metode Kromatografi Kertas.
Prinsip kerjanya adalah kromatografi kertas dengan larutan pengembang (eluen).
Setelah zat pewarna diteteskan diujung kertas rembesan (elusi), air dari bawah
akan mampu menyeret zat-zat pewarna yang larut dalam air (zat pewarna makanan)
lebih jauh dibandingkan dengan zat pewarna tekstil.Setelah zat pewarna yang
diidentifikasi telah diketahui, maka dapat disimpulkan jenis zat warna yang digunakan
pada makanan tersebut.
Kromatografi
kertas sesuai untuk pemisahan pewarna, tetapi metode ini memakan banyak waktu.
Selain itu, metode ini memberikan resolusi yang jelek dan kadang-kadang bercak
yang terbentuk tidak terdeteksi dengan baik, menunjukkan terbentuknya ekor yang
dapat mempengaruhi harga Rf
Berikut ini
contoh prosedur analisis zat warna yang terdapat dalam bahan makanan.
a. Tahap Ekstraksi
Untuk
sampel cairan, ambil 25 mL sampel dimasukkan ke dalam polyamida sepanjang 2 cm
sedangkan sampel padatan dilarutkan dalam 25 mL air panas. Zat pewarna yang
terserap dicuci dengan 5 mL aseton sebanyak 5 kali kemudian dengan 5 mL air panas
sebanyak 5 mL untuk menghilangkan pengotor seperti gula, asam dan sebagainya.
Untuk melepas zat pewarnanya dielusi dengan 20 mL NaOH-metanolat. Larutan yang
diperoleh diatur pHnya menjadi 5 – 6 dengan menambahkan larutan asam asetat
metanolat. Larutan zat warna metanolat diuapkan dengan Buchi rotavapor
menjadi volume 1 mL sebelum diteteskan pada kertas untuk pemisahan
kromatografi.
b. b.
Analisa Kromatografi
Sampel
sebanyak 2 µL diteteskan pada kertas Whatman dengan ukuran 12 x 20 cm. Jarak
penetesan 1,5 cm dari batas bawah kertas dan jarak antara penetesan berikutnya
1,5 cm. Kertas dibiarkan mengering selama 15 menit di udara terbuka dan
kemudian dielusi di dalam bejana yang telah berisi eluen jenuh. Eluen yang
digunakan untuk pemisahan campuran zat warna ditunjukkan pada tabel berikut
ini
Kode
|
Eluen
|
Komposisi
|
A
B
|
n-Butanol –
Asam asetat – Air
n-Butanol –
Etanol – Air – NH4OH
|
20 : 10 : 50
50 : 25 : 25 :
10
|
Setelah
45 menit di dalam bejana, kertas diambil dan dikeringkan untuk selanjutnya di
analisa secara kualitatif dan kuantitatif jika eluen dapat memisahkan zat
pewarna dengan baik. Analisa kualitatif dilakukan dengan mengukur harga Rf
sampel dibandingkan dengan zat pewarna standar yang dipakai. Untuk analisa
kuantitatif, noda yang terjadi discan menggunakan TLC-scanner dan luas puncak
yang diperoleh diubah menjadi konsentrasi dengan kalibrasi standar.
2. 2.
Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi
lapis tipis ialah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan yang memisahkan, yang
terdiri dari bahan yang berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga
berupa plat gelas, logam, atau lapisan yang cocok. Campuran yang dipisah,
berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita (awal). Setelah plat atau
lapisan ditaruh di dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang
yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler
(pengembangan).
Kromatografi
lapis tipis (KLT) telah banyak digunakan pada analisis pewarna sintetik. KLT
merupakan metode pemisahan yang lebih mudah, lebih cepat, dan memberikan
resolusi yang lebih baik dibandingkan kromatografi kertas. KLT tidak sebaik HPLC
untuk pemisahan dan identifikasi, tetapi metode ini relatif sederhana dan
dapat digunakan untuk memisahkan campuran yang kompleks. Meskipun demikian KLT
tidak mahal dan dapat digunakan secara mudah di industri makanan .
Sumber
Pustaka
0 Response to "Bahan Tambahan Pangan (Pewarna)"
Posting Komentar